BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada
yang keluar dari garisNya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah berfirman dalam QS. Adz Dzariyat ayat 49 yang artinya "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah" 1]
Allah menciptakan manusia seperti
ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau
membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan.
Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan
oleh utusan-Nya, Muhammad SAW.
Ada banyak pernikahan yang di
haramkan oleh Islam, salah satunya yang dikenal dengan nikah mut’at. Nikah
mut’ah ini merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam. Uniknya,
nikah mut’ah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama Syi’ah dengan
mengatasnamakan agama.
Nikah mut’ah di Indonesia dikenal
juga dengan istilah kawin kontrak, secara kwantitatif sulit untuk didata,
karena perkawinan kontrak itu dilaksanakan selain tidak dilaporkan, secara
yuridis formal memang tidak diatur dalam peraturan apapun, sehingga dapat
dikatakan bahwa perkawinan kontrak/ nikah mut’ah di Indonesia tidak diakui dan
tidak berlaku hukum itu.
Dari sini penyusun akan menguraikan
bagaimana sebenarnya pandangan hukum Islam mengenai praktek kawin mut'ah yang
terjadi di Indonesia[2].
B. Rumusan Masalah
1. Apa
penjelasan mengenai nikah mut’ah?
2. Bagaimana
hukum nikah mut’ah jika ditinjau dari perspektif hukum Islam?
3. Bagaimana
hukum nikah mut’ah jika ditinjau dari perspektif hukum Positif?
C. Tujuan Penelitian
1.
Agar kita mengetahui penjelasan mengenai
nikah mut’ah.
2.
Agar kita mengetahui hukum nikah menurut
perspektif hukum Islam.
3.
Agar kita mengetahui hukum nikah mut’ah
menurut perspektif hukum positif.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Mut’ah
Pernikahan dalam bahasa arab adalah nikah. Ada arti
sebenarnya ada arti kiasan. Arti sebenarnya nikah adalah dhom yang
artinya menghimpit, menindih, atau berkumpul. Arti kiasannya adalah sama dengan
wath’i yang artinya bersetubuh.
Menurut hukum islam, nikah itu pada hakikatnya ialah aqad
antara calon suami dan pihak calon istri (wali nikah) untuk memperbolehkan
keduanya bergaul sebagai suami-istri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi
aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara
seorang laki-laki dan seorang wanita (diwakili oleh wali nikahnya).
Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum nikah itu ada 5,
antara lain:
1. Jaiz (diperbolehkan),
ini asal hukumnya.
2. Sunah, bagi orang yang
berkehendak serta mampu memberi nafkah
3. Wajib, bagi orang yang
mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda zina
4. Makruh, bagi orang yang
tidak mampu memberi nafkah
5. Haram, bagi orang yang
mempunyai niat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya[3].
Sedangkan yang dimaksud dengan nikah mut’ah
-sebagaimana yang telah dikemu kakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa
asal kata mut’ah (Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk
dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai ”ganti rugi” kepada isteri
yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja tamatta’a dan istamta’a
barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau bernikmat-nikmat
dengan sesuatu. Haji tamattu’ disebut demikian karena memberikan
kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya.[4]
Secara istilah, yang dimaksud nikah mut’ah adalah,
seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan
sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya.
Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq
dan tanpa warisan.[5]
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara
keduanya, wanita itu mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,” atau ”Engkau
kunikahkan,”atau ”Engkau kumut’ahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian ,
selama sekian hari (bulan atau tahun atau selama masa tertentu yang harus
disebutkan dengan pasti),”. Kemudian orang laki-laki tersebut harus segera
berkata tanpa diselingi ucapan apapun, ”Aku terima.”
B. Sejarah
Nikah Mut’ah
Nikah Muth'ah
pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at islam,
yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi
kemudian diharamkan.
Rahasia
diperbolehkan Nikah Muth'ah waktu itu
adalah karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa
peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah
suatu hal yang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru pada pengikutnya
untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan
yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian
tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang
merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya
berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya[6].
Seperti apa yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :
عن بن مسعود قال : كنا نغزوا مع رسول الله صام وليس معنا نساء فقلنا
: ألا نستخصى؟ فنهانا رسول الله صام عن ذالك.
ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.
Artinya :
“Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang
bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata :
bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang kami
melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi
perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu”
Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat
hanya selama tiga hari setelah itu
Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
وعن
سلمة بن الأكوع قال : رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة,
ثلاثة أيام, ثم نهى عنها (رواه مسلم )
Artinya :
“Dari Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW
memberikan keringanan nikah muth'ah pada tahun authas (penaklukan kota Makah)
selama 3 hari kemudian beliau melarangnya” (HR Muslim)
Dari hadis Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya
Rasulullah saw pernah memperbolehkan nikah muth'ah kemudian melarangnya dan
menasah rukhshah tersebut. Menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasanya
pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum
perang khaibar kemudian diharamkannya dalam perang khaibar kemudian dibolehkan
lagi pada tahun penaklukan Makah (tahun Authas), setelah itu Nikah Muth'ah diharamkan selama-lamanya,
sehingga terhapuslah rukhshah itu selama-lamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah
SAW :
وعن علي رضي الله تعالى عنه قال : نهى رسول الله صام عن المتعة عام
خيبر (متفق عليه)
Artinya :
Dari Ali ra. berkata : Rasulullah melarang nikah muth'ah
pada tahun Khaybar
وعن ربيع بن سبورة, عن أبيه رضي الله عنه, أن رسول الله صام قال : إنى كنت أذنت لكم الإستمناع من
النساء,
وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة (أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وأحمد
وابن حبان)
Artinya :
Dari Rabi' bin
Saburah, dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya
aku telah memberikan izin kepadamu untuk memintak muth'ah dari wanita, dan
sesungguhnya Allah SAW telah mengharamkan itu sampai hari kiamat (HR Muslim,
Abu Daud, Nasai', Ahmad, dan Ibn Majah).
C. Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mut’ah
Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya
Rasulullah saw adalah rahmat bagi seluruh alam, Karena itu, maka Allah swt
mengharamkan Nikah Mut’ah kerna tidak sesuai dengan misi yang diemban
Rasulullah saw. Memang pada mulanya nikah ini dibolehkan, akan tetapi, hal ini
hanya sebatas keringanan bagi Sahabat-Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita
ketahui, bahwa jarak antara keislaman mereka masih dekat dengan
kebiasaan-kebiasaan yang mereka tumbuh didalamnya sebelum datangnya islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan,
maka tidak masuk akal dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat
mereka dengan berpuasa. Karena tidak benenar dalam peperengan melemahkan
seorang Mujahid dengan cara apapun dan dalam keadaan apapun. Keadaan inilah
yang menjadi dasar dibolehkannya Nikah Mut’ah.
Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah
menghapusnya melalui firmannya dan Lisan Rasulnya saw. Karena, Nikah Mut’ah menyusahkan perempuan
dan anak yang lahir dari mereka. Dan setelah diharamkan, tidak ada dari sahabat
dan tabi’in yang melakukan itu lagi.
Bila dilihat dari definisi Nikah Mut’ah,pernikahan seperti ini terjadi
kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan
adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas
landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah
kejiwaan yang telah digariskan Allah swt dalam al-qur'an yaitu ketentraman,
kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi
berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia[7]. Seperti Firman Allah swt :
Artinya:
“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua
orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi
beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia
tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. samakah orang itu dengan orang
yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?.”QS.
An-Nahl : 76
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan Mengawasi kamu.”QS.An-Nissa
: 1
[263] maksud dari
padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam
a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang
menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari
padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] menurut
kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada
orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya
bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
Dalam prinsip-prinsip sebuah
pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai dengan nikah yang telah
Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah mut'ah
dibatasi oleh waktu, dengan demikian, Nikah Mut'ah berakhir dengan
habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan
dalam syari'at, pernikahan berakhir dengan talak atau meninggal dunia,
dengan kata lain tidak dibatasi oleh waktu.
Selain dibatasi oleh waktu, Nikah
Mut'ah juga tidak membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Maka boleh
bagi seorang peria menikah lebih dari empat orang istri. Dan ini dapat
dilakukan tampa wali atau tampa persetujuan walinya, dan dalam pernikahan ini
tidak diperlukan saksi, pengumuman, perceraian,
pewarisan dan pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang telah disepakati.
Kecuali sebelumnya telah terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu
hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya
(dampak negatif), Nikah Mut'ah merupakan bentuk pelecehan terhadap
kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga, menelantarkan generasi yang
dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan menyebarkan penyakit
kelamin, meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan adanya wali dan
saksi, bisa jadi, seseorang mengumpulkan antara dua bersaudara, atau antara
anak dan ibunya atau bibinya dan tidak menutup kemungkinan, ia menikahi anaknya
sendiri dari hasil Pernikahan Mut'ah yang dilakukan sebelumnya, bahkan, bisa
jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak tahuannya dan tidak adanya
orang yang mengetahuinya.
Dengan demikian, jelaslah bagi
kita sebab-sebab diharamkannya Nikah Mut'ah, selain tidak sesuai dengan
misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan lilalaamin) dan syari'at yang
dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki banyak mudhorat (dampak
negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun akhlak,
oleh kerna itu, Rasulullah saw mengharamkannya, karena didalamnya terdapat
berbagai macam kerusakan.
D. Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Nikah mut’ah dinamakan juga nikah
sementara (kontrak), yaitu menikah untuk satu hari, satu minggu, enam minggu,
satu tahun, atau berapa saja sesuai perjanjiannya. Keempat madzhab sepakat
bahwa nikah mut’ah haram hukumnya. Bila dalam akad nikah disebut jangka waktu,
akad itu menjadi batal dan tidak sah. Hubungan yang dinikahkan menjadi hubungan
pezinahan.[8]Nikah
mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil kitab, sunnah, ijma’, dan akal.
1.
Dalil
al-Quran
Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,Kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki[1512], Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal Ini tiada tercela.Barangsiapa mencari yang di balik itu[1513],
Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.”
QS.al Maarij : 29-31
[1512] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat
dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar
peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang
ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan
itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang
kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut
tertawan bersama-samanya.
[1513] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya[9].
Dari ayat diatas diketahui bahwa
sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan
perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.
Dengan itu, sangat jelas bahwa
hubungan kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau budak, sedangkan istri
dari perkawinan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri karena:
a. Tidak saling mewarisi, sedangkan
akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan
b. Idah nikah mut’ah tidak seperti
nikah biasa
c. Dengan akad nikah menjadi
berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya dengan beristri empat sedangkan
tidak demikian halnya dengan mut’ah
d. Dengan melakukan mut’ah seseorang
itu tidak dianggap menjadi muhsin karena wanita yang diambil dengan
jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan
wanita berstatus istri dan tidak pula berstatus budak, maka termasuklah orang
yang melakukan mut’ah itu di dalam firman Allah.[10]
2.
Dalil
as-Sunnah
Pada awalnya, Nabi saw membolehkan
nikah mut’ah pada tahun penaklukan Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula
beliau melarangnya. Ada yang mengatakan, larangan nikah mut’ah ini sewaktu
perang Khaibar. Tapi yang benar ialah pada tahun penaklukan Makkah. Yang
dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan daging keledai piaraan. Memang Ali
bin Abi Thalib pernah berkata pada Ibnu Abbas, “Rasulullah saw melarang nikah
mut’ah dan keledai piaraan sewaktu perang Khaibar.” Lalu sebagian rawi mengira
bahwa penyebutan Khaibar ini berlaku untuk dua masalah tersebut. Tapi ada
seorang rawi yang menyebutkan pembatasan salah satu di antaranya dengan perang
Khaibar.[11]
Menurut Dr. Abdus Shomad, hadis yang
menunjukkan bolehnya mut’ah telah dinasakh.Hal dinyatakan dalam hadis
berikut:
حدثنا
محمد ابن عبدالله بن نمير, حدثنا أبى, حدثنا عبد العزيز بن عمر, حدثني الربيع بسبرةالجهني,
أن أباه, حدثه أنه, كان مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال "يا أيها
الناس إني قد كنت أذنت لكم فى الاستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم
القيامة فمن كان عنده منهن شىء فليحل سبيله ولاتأخذوا مما آتيتموهن شيئا
(رواه مسلم)
Artinya:
Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu
melakukan mut’ah dan ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari
kiamat, maka barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan
mut’ah, hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang
telah kamu berikan kepada mereka (HR. Muslim)[12]
Dari dalil yang dikutip dari hadis Nabi tersebut, bahwa
nikah mut’ah diperbolehkan pada era Rasulullah saw dalam keadaan darurat. Akan
tetapi pembolehan tersebut sudah dinasakh dan oleh hadis di atas. Oleh
karena itu, sangat jelas bahwa hukum nikah mut’ah ini haram dan akan berdosa
bagi yang melakukannya. Hal itu berlaku sampai hari kebangkitan.
3.
Ijma’ Seluruh Ummat Islam
Seluruh umat Islam telah sampai pada
posisi ijma' tentang pengharamannya. Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang
pernah menghalalkan nikah mut’ah itu telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah
SAW. Tak ada satu pun kalangan ulama ahli sunnah yang menghalalkannya.
E. Nikah Mut’ah Menurut Hukum Positif
Dalam hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan
perundang-undangan yang berlaku secara legal (positif) di Indonesia sebagai
berikut:
1. Pancasila, terutama sila I,
”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila II, ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen,
bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat (1) dan (2);
3. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”;
4. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI),
menyebutkan, ”Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat ataumitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”. Juga Pasal 3 yang menegaskan, ”Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah”.
Berdasarkan 4 hal di atas, semakin jelas arah kebijakan dan
kepentingan pemerintah dalam mewujudkan suatu keluarga yang harmonis dan
sejahtera dengan membuat seperangkat aturan perundang-undangan yang bertujuan
untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia; dengan suatu teori bahwa
suatu negara dikatakan memiliki stabilitas yang kuat bila ditunjang oleh
keberadaan keluarga-keluarga atau rumah tangga yang mantap. Hal ini sulit
terwujud bila pondasi keluarga dibangun dengan perkawinan semacam nikah mut’ah.
Karena itu, pemerintah hendaknya mengambil langkah tegas terhadap para pelaku
nikah mut’ah dan oknum-oknum dari instansi pemerintah atau di luar instansi
pemerintah yang terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang sejenisnya[13].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nikah mut’ah adalah, seseorang yang menikah dengan seorang
wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa
harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
Nikah mut’ah haram hukumnya, baik menurut perspektif hukum
Islam maupun hukum yang berlaku di Indonesia. Karena tujuannya adalah untuk
mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan
anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan
pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan.
B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini,
penulis berharap pembaca dapat mengerti tentang apa yang diuraikan dalam
makalah ini. Dengan mengerti, maka pembaca dapat mempraktekkan dalam kehidupan
untuk tidak melakukan nikah mut’ah. Penulis juga menyarankan para pembaca yang
budiman untuk memberi masukan, koreksi, serta kritikan terhada makalah yang
penuh dengan kekurangan ini.
[1]Al-Qur’an
dan Terjemahan, Departemen Agama RI, jakarta:
Mekar Surabaya
[2]Saebani, Beni Ahmad. FiqihMunakahat1.
Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009. hlm. 9
[3]Sabiq,
Sayyid. FiqhSunnah. Bandung: Al-Ma’arif. 1998. hlm. 107
[4]
A. Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum
Positif, (Al-Qanun, Vol.
11, No. 1, 2008) hlm. 217
[5]
Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm. 2
[6]Rifa’i,
Moh. FiqihIslamLengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1978. hlm. 17
[7]Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum
Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2002. hlm 25
[8]
Mutawalli M. Assya’rawi, 2007, Anda Bertanya Islam Menjawab, Jakarta:
Gema Insani Press hlm. 172
[9]Al-qur’an
dan Terjemahan RI, ibid
[10]
Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 312
[11]
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, 2007, Zaadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat,
Jakarta: Pustaka Azzam hlm. 388
[12]
Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 313
[13]Al-Hamidy, A. Dzarrin. Ibid. hlm. 152