Minggu, 22 September 2013

makalah fiqh munakahat II - Nikah Mut’ah menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisNya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah berfirman dalam QS. Adz Dzariyat ayat 49 yang artinya "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah"  1]

Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusan-Nya, Muhammad SAW.
Ada banyak pernikahan yang di haramkan oleh Islam, salah satunya yang dikenal dengan nikah mut’at. Nikah mut’ah ini merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam. Uniknya, nikah mut’ah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama Syi’ah dengan mengatasnamakan agama.
Nikah mut’ah di Indonesia dikenal juga dengan istilah kawin kontrak, secara kwantitatif sulit untuk didata, karena perkawinan kontrak itu dilaksanakan selain tidak dilaporkan, secara yuridis formal memang tidak diatur dalam peraturan apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan kontrak/ nikah mut’ah di Indonesia tidak diakui dan tidak berlaku hukum itu.
Dari sini penyusun akan menguraikan bagaimana sebenarnya pandangan hukum Islam mengenai praktek kawin mut'ah yang terjadi di Indonesia[2].

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa penjelasan mengenai nikah mut’ah?
2.      Bagaimana hukum nikah mut’ah jika ditinjau dari perspektif hukum Islam?
3.      Bagaimana hukum nikah mut’ah jika ditinjau dari perspektif hukum Positif?
C.  Tujuan Penelitian
1.        Agar kita mengetahui penjelasan mengenai nikah mut’ah.
2.        Agar kita mengetahui hukum nikah menurut perspektif hukum Islam.
3.        Agar kita mengetahui hukum nikah mut’ah menurut perspektif hukum positif.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Nikah Mut’ah
Pernikahan dalam bahasa arab adalah nikah. Ada arti sebenarnya ada arti kiasan. Arti sebenarnya nikah adalah dhom yang artinya menghimpit, menindih, atau berkumpul. Arti kiasannya adalah sama dengan wath’i yang artinya bersetubuh.
Menurut hukum islam, nikah itu pada hakikatnya ialah aqad antara calon suami dan pihak calon istri (wali nikah) untuk memperbolehkan keduanya bergaul sebagai suami-istri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita (diwakili oleh wali nikahnya).
Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum nikah itu ada 5, antara lain:
1.      Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.
2.      Sunah, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah
3.      Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda zina
4.      Makruh, bagi orang yang tidak mampu  memberi nafkah
5.      Haram, bagi orang yang mempunyai niat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya[3].
Sedangkan yang dimaksud dengan nikah mut’ah -sebagaimana yang telah dikemu kakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa asal kata  mut’ah (Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai ”ganti rugi” kepada isteri yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja tamatta’a dan istamta’a barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau bernikmat-nikmat  dengan sesuatu. Haji  tamattu’  disebut demikian karena memberikan kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya.[4]
Secara istilah,  yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[5]
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya,  wanita itu mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,” atau ”Engkau kunikahkan,”atau ”Engkau kumut’ahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian , selama sekian hari (bulan atau tahun atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan pasti),”. Kemudian orang laki-laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, ”Aku terima.”

B.  Sejarah Nikah Mut’ah
Nikah Muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan.
Rahasia diperbolehkan Nikah Muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya[6]. Seperti apa yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :
عن بن مسعود قال : كنا نغزوا مع رسول الله صام وليس معنا نساء فقلنا : ألا نستخصى؟ فنهانا رسول الله صام عن ذالك.
 ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.
Artinya :
Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu

Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga  hari setelah itu Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
وعن سلمة بن الأكوع قال : رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة, ثلاثة أيام, ثم نهى عنها (رواه مسلم )
Artinya :
Dari Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah pada tahun authas (penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya (HR Muslim)

Dari hadis Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya Rasulullah saw pernah memperbolehkan nikah muth'ah kemudian melarangnya dan menasah rukhshah tersebut. Menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum perang khaibar kemudian diharamkannya dalam perang khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun penaklukan Makah (tahun Authas), setelah itu Nikah Muth'ah diharamkan selama-lamanya, sehingga terhapuslah rukhshah itu selama-lamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW :


وعن علي رضي الله تعالى عنه قال : نهى رسول الله صام عن المتعة عام خيبر (متفق عليه)

Artinya :
Dari Ali ra. berkata : Rasulullah melarang nikah muth'ah pada tahun Khaybar

وعن ربيع بن سبورة, عن أبيه رضي الله عنه, أن رسول الله صام قال : إنى كنت أذنت لكم الإستمناع من النساء,
وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة (أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وأحمد وابن حبان)
Artinya :                                                                                  
Dari Rabi' bin Saburah, dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya aku telah memberikan izin kepadamu untuk memintak muth'ah dari wanita, dan sesungguhnya Allah SAW telah mengharamkan itu sampai hari kiamat (HR Muslim, Abu Daud, Nasai', Ahmad, dan Ibn Majah).

C.  Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mut’ah
Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah saw adalah rahmat bagi seluruh alam, Karena itu, maka Allah swt mengharamkan Nikah Mut’ah kerna tidak sesuai dengan misi yang diemban Rasulullah saw. Memang pada mulanya nikah ini dibolehkan, akan tetapi, hal ini hanya sebatas keringanan bagi Sahabat-Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita ketahui, bahwa jarak antara keislaman mereka masih dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka tumbuh didalamnya sebelum datangnya islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan, maka tidak masuk akal dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat mereka dengan berpuasa. Karena tidak benenar dalam peperengan melemahkan seorang Mujahid dengan cara apapun dan dalam keadaan apapun. Keadaan inilah yang menjadi dasar dibolehkannya Nikah Mut’ah.
Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui firmannya dan Lisan Rasulnya saw. Karena, Nikah Mut’ah menyusahkan perempuan dan anak yang lahir dari mereka. Dan setelah diharamkan, tidak ada dari sahabat dan tabi’in yang melakukan itu lagi.
Bila dilihat dari definisi Nikah Mut’ah,pernikahan seperti ini terjadi kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah swt dalam al-qur'an yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia[7]. Seperti Firman Allah swt :
ƒ
Artinya:
“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?.”QS. An-Nahl : 76
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.QS.An-Nissa : 1
[263]  maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264]  menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.

Dalam prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai dengan nikah yang telah Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, dengan demikian, Nikah Mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan dalam syari'at, pernikahan berakhir dengan talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak dibatasi oleh waktu.
Selain dibatasi oleh waktu, Nikah Mut'ah juga tidak membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Maka boleh bagi seorang peria menikah lebih dari empat orang istri. Dan ini dapat dilakukan tampa wali atau tampa persetujuan walinya, dan dalam pernikahan ini tidak diperlukan saksi, pengumuman,  perceraian, pewarisan dan pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali sebelumnya telah terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mut'ah merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga, menelantarkan generasi yang dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan adanya wali dan saksi, bisa jadi, seseorang mengumpulkan antara dua bersaudara, atau antara anak dan ibunya atau bibinya dan tidak menutup kemungkinan, ia menikahi anaknya sendiri dari hasil Pernikahan Mut'ah yang dilakukan sebelumnya, bahkan, bisa jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak tahuannya dan tidak adanya orang yang mengetahuinya.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah Mut'ah, selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan lilalaamin) dan syari'at yang dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki banyak mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun akhlak, oleh kerna itu, Rasulullah saw mengharamkannya, karena didalamnya terdapat berbagai macam kerusakan.     

D.  Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Nikah mut’ah dinamakan juga nikah sementara (kontrak), yaitu menikah untuk satu hari, satu minggu, enam minggu, satu tahun, atau berapa saja sesuai perjanjiannya. Keempat madzhab sepakat bahwa nikah mut’ah haram hukumnya. Bila dalam akad nikah disebut jangka waktu, akad itu menjadi batal dan tidak sah. Hubungan yang dinikahkan menjadi hubungan pezinahan.[8]Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil kitab, sunnah, ijma’, dan akal.
1.    Dalil al-Quran
Allah berfirman:


Artinya:
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki[1512], Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela.Barangsiapa mencari yang di balik itu[1513], Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” QS.al Maarij : 29-31

[1512]  Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[1513]  Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya[9].

Dari ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.
Dengan itu, sangat jelas bahwa hubungan kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau budak, sedangkan istri dari perkawinan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri karena:
a.    Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan
b.    Idah nikah mut’ah tidak seperti nikah biasa
c.    Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya dengan beristri empat sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah
d.   Dengan melakukan mut’ah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula berstatus budak, maka termasuklah orang yang melakukan mut’ah itu di dalam firman Allah.[10]

2.    Dalil as-Sunnah
Pada awalnya, Nabi saw membolehkan nikah mut’ah pada tahun penaklukan Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya. Ada yang mengatakan, larangan nikah mut’ah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar ialah pada tahun penaklukan Makkah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan daging keledai piaraan. Memang Ali bin Abi Thalib pernah berkata pada Ibnu Abbas, “Rasulullah saw melarang nikah mut’ah dan keledai piaraan sewaktu perang Khaibar.” Lalu sebagian rawi mengira bahwa penyebutan Khaibar ini berlaku untuk dua masalah tersebut. Tapi ada seorang rawi yang menyebutkan pembatasan salah satu di antaranya dengan perang Khaibar.[11]
Menurut Dr. Abdus Shomad, hadis yang menunjukkan bolehnya mut’ah telah dinasakh.Hal dinyatakan dalam hadis berikut:

حدثنا محمد ابن عبدالله بن نمير, حدثنا أبى, حدثنا عبد العزيز بن عمر, حدثني الربيع بسبرةالجهني, أن أباه, حدثه أنه, كان مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال "يا أيها الناس إني قد كنت أذنت لكم فى الاستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شىء فليحل سبيله ولاتأخذوا مما آتيتموهن شيئا
(رواه مسلم)
Artinya:
Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu melakukan mut’ah dan ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mut’ah, hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (HR. Muslim)[12]

Dari dalil yang dikutip dari hadis Nabi tersebut, bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada era Rasulullah saw dalam keadaan darurat. Akan tetapi pembolehan tersebut sudah dinasakh dan oleh hadis di atas. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa hukum nikah mut’ah ini haram dan akan berdosa bagi yang melakukannya. Hal itu berlaku sampai hari kebangkitan.

3.    Ijma’ Seluruh Ummat Islam
Seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang pengharamannya. Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah menghalalkan nikah mut’ah itu telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah SAW. Tak ada satu pun kalangan ulama ahli sunnah yang menghalalkannya.

E.  Nikah Mut’ah Menurut Hukum Positif
Dalam hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan perundang-undangan yang berlaku secara legal (positif) di Indonesia sebagai berikut:
1.    Pancasila, terutama sila I, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila II, ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2.    Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat (1) dan (2);
3.    Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia  dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
4.    Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, ”Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ataumitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Juga Pasal 3 yang menegaskan, ”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

Berdasarkan 4 hal di atas, semakin jelas arah kebijakan dan kepentingan pemerintah dalam mewujudkan suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera dengan membuat seperangkat aturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi  seluruh rakyat Indonesia; dengan suatu teori bahwa suatu  negara dikatakan memiliki stabilitas yang kuat bila ditunjang oleh keberadaan keluarga-keluarga atau rumah tangga yang mantap. Hal ini sulit terwujud bila pondasi keluarga dibangun dengan perkawinan semacam nikah mut’ah. Karena itu, pemerintah hendaknya mengambil langkah tegas terhadap para pelaku nikah mut’ah dan oknum-oknum dari instansi pemerintah atau di luar instansi pemerintah yang terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang sejenisnya[13].




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Nikah mut’ah adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
Nikah mut’ah haram hukumnya, baik menurut perspektif hukum Islam maupun hukum yang berlaku di Indonesia. Karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan.

B.  Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, penulis berharap pembaca dapat mengerti tentang apa yang diuraikan dalam makalah ini. Dengan mengerti, maka pembaca dapat mempraktekkan dalam kehidupan untuk tidak melakukan nikah mut’ah. Penulis juga menyarankan para pembaca yang budiman untuk memberi masukan, koreksi, serta kritikan terhada makalah yang penuh dengan kekurangan ini.





[1]Al-Qur’an dan Terjemahan, Departemen Agama RI, jakarta: Mekar Surabaya
[2]Saebani, Beni Ahmad. FiqihMunakahat1. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009. hlm. 9
[3]Sabiq, Sayyid. FiqhSunnah. Bandung: Al-Ma’arif. 1998. hlm. 107
[4] A. Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, (Al-Qanun, Vol. 11, No. 1, 2008) hlm. 217
[5] Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm. 2
[6]Rifa’i, Moh. FiqihIslamLengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1978. hlm. 17
[7]Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2002. hlm 25
[8] Mutawalli M. Assya’rawi, 2007, Anda Bertanya Islam Menjawab, Jakarta: Gema Insani Press hlm. 172
[9]Al-qur’an dan Terjemahan RI, ibid
[10] Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 312
[11] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, 2007, Zaadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat, Jakarta: Pustaka Azzam hlm. 388
[12] Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 313
[13]Al-Hamidy, A. Dzarrin. Ibid. hlm. 152